PESTA DUKA di HARI ASYURA
Para pembaca, kali ini kami mengajak untuk menyimak berbagai keyakinan sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala yang mereka peringati setiap tanggal sepuluh Muharram (hari ‘Asyura). Mereka melakukan berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai besi, pedang, cambuk dan benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta (palsu) mereka kepada Ahlul Bait (keluarga Rasulullah ﷺ ), yang diwujudkan dalam bentuk kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi ﷺ Husain رضي الله عنهما di tempat tersebut. Silahkan menyimak dan semoga bermanfaat.
PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA
Hari ‘Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa celaka. Sejak awal bulan Muharram (bahkan selama sebulan penuh) mereka tidak melakukan hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak dan lain-lain.
Anak yang lahir di bulan Muharram mereka yakini bernasib sial.
Secara khusus, pada hari ‘Asyura, mereka melakukan ritual yang amat mengerikan dengan menyiksa diri dengan benda-benda keras dan tajam. Semangat untuk menyakiti dan melukai tubuh sendiri akan kian terlecut dengan rangsangan sya’ir-sya’ir kisah terbunuhnya Husain bin ‘Ali رضي الله عنهما di padang Karbala yang diperdengarkan, karya tokoh[1]tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para Sahabat g .
Jika para pembaca kurang yakin silakan saksikan apa yang sedang berlangsung di padang Karbala pada hari Asyura. Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan berpakaian serba putih. Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata ‘haidar’, ‘haidar’. Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun[1]ayunkan ke salah satu bagian tubuh secara perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan duka di Karbala ini lebih dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan ritual al-Husainiyyah.1
Penyiksaan diri pada hari ‘Asyura tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala saja, tetapi juga dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka, kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram itu memiliki nilai ibadah yang tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.
UNGKAPAN PARA TOKOH SYIAH TENTANG HUKUM DAN KEUTAMAAN PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA
Salah seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari ‘Asyura di Karbala dengan judul al-Mâjalis al-Fâkhirah Fi Ma’âtimil ‘Ithrahi ath-Thâhirah2 atau menurut penulis, kitab tersebut pantas berjudul Manâsik al-Husainiyyah.
Salah seorang tokoh mereka menyebutkan bahwa ritual penyiksaan diri pada hari ‘Asyura di Karbala dimulai pada abad IV Hijriah pada masa dinasti al-Buwaihi. Kemudian berlanjut pada masa dinasti al[1]Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah, seperti Irak, Iran, India, Siria, dll3 .
Ad-Dimastâni, ulama Syiah yang lain menegaskan : “Meratapi kematian Husain dengan berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi)” 4.
Ayatullah al-’Uzhma syaikh Muhammad Husain an-Nâti berkata : “Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang” 5.
Setelah kita menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rofidhoh di atas dapat kita ketahui bahwa apa yang dinisbatkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat.
Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya al-Qur’ân dan petunjuk Sunnah serta keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang sangat dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum Muslimin.
SESATNYA PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA
Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini, keterangannya:
- Ibnu Katsîr رحمه الله berkata: “Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain c. Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah ﷺ . Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari ‘Asyura) seperti bersedih[1]sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan riya. Sesungguhnya ayah Husain (‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه ) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain رضي الله عنه (yang diperingati). ‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat Subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.
Demikian juga ‘Utsmân , beliau lebih mulia dari ‘Ali رضي الله عنه dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang merayakan pesta duka di hari kematiannya.
Demikian pula halnya ‘Umar bin Khaththâb رحمه الله . Beliau lebih afdhal dari ‘Utsmân dan ‘Ali رضي الله عنهما . Terbunuh di mihrab saat shalat Subuh ketika tengah membaca al-Qur’ân. Namun, tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.
Dan demikian juga Abu Bakar ash[1]Shiddîq z. Beliau lebih afdhal dari ‘Umar رضي الله عنه . Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai hari berkabung.
(Terakhir), Allah سبحانه وتعالى telah memanggil Rasulullah r , penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain”6 .
- Syaikh Fâdhil ar-Rûmi رحمه الله , seorang ulama Dinasti Utsmaniyah mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini :
“Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali رضي الله عنهما yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu didunia. Tetapi, mereka mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah سبحانه وتعالى dan Rasul ﷺ saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka…7 . Pada kesempatan lain beliau menyatakan: “Di antara bentuk bid’ah yang dilakukan sebagian manusia pada hari ‘Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu, mereka mencaci para Sahabat Rasululullah ﷺ yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabin , dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullahn serta kesepakatan kaum Muslimin.
Sesungguhnya, Husain رحمه الله telah dimuliakan Allah سبحانه وتعالى dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah سبحانه وتعالى mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ’ (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) 8.
Kalimat istirjâ’ merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa’id bin Jubair رحمه الله berkata:
لَمْ يُعْطَ الإِسْتِرْجَاعُ لأُمَّةٍ مِنَ الأُمَمِ إِلَّا هَذِهِ الأُمَّةِ، وَلَوْ أُعْطِيَ لأَحَدٍ لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامَ أَلَا تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ الإسْتِرْجَاعِ : يَاأَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ
Kalimat istirjâ’ tidak diberikan bagi umat[1]umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ ). Jika seseorang diberi (sebelumnya, red) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya’qub عليه السلام . Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjâ’ Aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf’9 .
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ telah menyampaikan kalimat istirjâ’. Beliau bersabda:
مَامِنْ مُسْلِم تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا للهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn’, (dan berdoa) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami.(HR. Muslim 2/632 no (918).
- Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi ﷺ pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai dengan memukul-mukul muka, merobek[1]robek baju, berteriak-teriak yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin (para Sahabat Nabi رضي الله عنهم ), serta membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam. 10
Rasulullah ﷺ telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِيْ مِنْ أَمْرِ الجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُوْنَهُنَّ : الفَخْرُ بِالأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ وَالإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ : النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kemuliaan nenek moyang, mencela garis keturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat.
Kemudian beliau ﷺ menambahkan: Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari Kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta (HR. Muslim).
Abu Musa al-Asy ‘ari رضي الله عنه berkata:
أَنَا بَرِيْءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ضَلَّى اللهُ عَلَسْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الحَالِقَةِ، وَالصَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ.
Aku berlepas diri orang-orang yang Rasulullah berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah) (HR. al-Bukhâri dan Muslim).
- Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah ﷺ .
Banyak sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutamaan Sahabat. Dan sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para Sahabat. Secara khusus, Rasulullah r telah melarang dengan tegas umatnya mencela para Sahabat g :
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَابَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya (pahala infaq emas itu) tidak akan menyamai (pahala sedekah) sebesar satu mud atau separuhnya yang dilakukan oleh para Sahabat (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Maka, berdasarkan hadits ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka. Peristiwa terbunuhnya ‘Utsmân dan Husain رضي الله عنهما menyebabkan terjadinya fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya, muncul berbagai bentuk kesesatan danbid’ah-bid’ah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini11.
Imam al-Ghazâli رحمه الله dan ulama lainnya berkata : “Diharamkan para penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain رضي الله عنهما , juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena, hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para Sahabat g dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela diri dan agamanya”. Ibnu Shalâh رحمه الله dan Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Para Sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah ﷺ , jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Al-Qurân dan Hadits telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka, terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini12. Imam asy-Syafi’i رحمه الله : “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari membicarakannya”.
Semoga Allah سبحانه وتعالى melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.
Footnote:
- Penisbatan kepada nama Husain c
- Lihat Man Qatalal Husain, hal: 60..
- Lihat Man Qatalal Husain, hal: 56.
- Lihat Man Qatalal Husain, hal: 65.
- Lihat Man Qatalal Husain, hal: 66.
- al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)
- Majâlisul Abrâr majlis no 37.
- Diriwayatkan Imam ath-Thabari رحمه الله dalam Tafsirnya (13/39)
- Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
- Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
- Lihat “Ash shawa’iq Al Muhriqoh” karangan Al Haitamy: 2/640.
Majalah As-sunnah Edisi 10/thn XII/Muharram 1430H/Januari 2009M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/pesta-duka-di-hari-asyura/